24 May 2003
Salah satu cara untuk mengembangkan kredit mikro yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan adalah dengan menjemput nasabah yang ada di pasar, di desa maupun di pusat-pusat perdagangan lainnya. Atau mengantarkan kredit itu ke “pabrik” sederhana dimana suatu industri kecil mengolah bahan baku dengan cara tradisional. Atau mengantarkannya kepada seorang tukang yang sedang berkeringat di bengkelnya di desa. “Jemputan” itu mutlak perlu dilakukan oleh lembaga keuangan mikro yang dekat dengan nasabahnya. Lembaga ini harus sabar memberi informasi tentang tersedianya kesempatan memperoleh modal, cara mengambil kredit, memberi pengalaman nasabah untuk mempunyai kredit, sanggup mengantarkan kredit, kerajinan mengambil cicilan dan bunga, dan memberi penghargaan ketika nasabah melunasi kreditnya dengan baik.
Sasaran kredit mikro umumnya adalah masyarakat yang belum banyak berkenalan dengan sistem perbankan. Mereka umumnya adalah masyarakat yang ingin membuka usaha, masyarakat yang mempunyai usaha mikro, kecil atau menengah, atau masyarakat yang ingin memperluas usahanya dan memerlukan modal atau modal tambahan. Karena itu pertama-tama mereka harus terlebih dahulu diperkenalkan kepada bank.
Dalam kondisi seperti itu, Yayasan Damandiri, sejak tahun 1996 telah bekerja sama dengan BKKBN, Bank BNI dan PT Posindo, mencoba memperkenalkan kelompok-kelompok yang semula bergerak dalam bidang KB untuk berkenalan dengan sistem tabungan bank sekaligus berlatih membuka usaha ekonomi produktif dengan dukungan modal yang berasal dari kredit bank. Usaha itu sebagian berjalan lancar. Tidak kurang dari 13 juta keluarga telah belajar menabung. Dari padanya tidak kurang dari 10 juta keluarga telah belajar membuka usaha ekonomi produktif, baik secara sendiri maupun secara berkelompok.
Sebagai forum pembelajaran dan sekaligus sebagai upaya pemberdayaan, usaha tersebut boleh dikatakan membawa hasil yang lumayan. Bersama usaha lain yang diselenggarakan oleh Departemen atau lembaga lain, termasuk oleh lembaga swadaya masyarakat, banyak sekali kelompok atau anggota masyarakat secara perorangan telah maju dan berkembang menjadi usahawan mikro yang berhasil.
Menanggapi kemajuan itu, pada akhir tahun 1999, ketika Yayasan Damandiri harus memikirkan program lanjutan dengan cara mandiri karena dana yang sangat terbatas, dicarilah kerjasama saling menguntungkan dengan berbagai pihak. Atas petunjuk Ibu Wakil Presiden, pada waktu itu Ibu Megawati Soekarnoputri, Yayasan Damandiri mengarahkan kerjasama itu dengan pemerintah daerah dari kawasan Indonesia timur. Kerjasama itu digalang dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang secara operasional bergerak di kawasan Indonesia timur.
Setelah dipelajari dengan seksama diputuskan untuk bekerja sama dengan 20 jaringan Bank BPR Nusamba yang mempunyai jangkauan operasional di sebagian kawasan timur Indonesia serta beberapa Bank BPD, yaitu Bank BPD Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Program yang semula mendapat dukungan subsidi dan pembinaan oleh aparatur pemerintah dicoba dikembangkan dengan dukungan yang makin mandiri, yaitu dari kalangan perbankan masing-masing atau dari lembaga universitas, masyarakat dan atau mereka yang mempunyai simpati terhadap usaha mulia tersebut.
Secara teoritis program ini nampak sederhana dan mudah. Ada anggota masyarakat yang mempunyai usaha ekonomi produktif, atau mempunyai pengalaman karena hasil binaan dari berbagai instansi sebelumnya, atau ada anggota masyarakat yang telah berhasil dan memerlukan modal tambahan. Bank yang mempunyai dana bisa dengan mudah menyalurkan dana kepada mereka yang membutuhkan. Dengan demikian mereka yang membutuhkan modal bisa menghubungi bank untuk mendapatkan dana.
Namun kenyataannya tidak demikian. Para pengusaha mikro yang baru belajar dengan berbagai skim itu umumnya tidak mengenal bank. Mereka umumnya dibina secara ketat dan padat tenaga pendamping oleh berbagai aparat, pemerintah dan LSM, dan tidak seluruhnya bisa segera siap mandiri atau dengan kemauan keras menyongsong dana yang tersedia di bank. Begitu juga dengan petugas bank, mereka biasa menunggu tamu calon nasabah dan tidak mempunyai ide menjemput bola, yaitu menjemput calon nasabah yang masih rikuh untuk pergi ke bank. Kedua pihak saling menunggu dan tidak ada transaksi.
Untuk mempermudah calon nasabah memperoleh kredit untuk usaha ekonomi produktif, Yayasan Damandiri menggalang kerjasama dengan jaringan BPR Nusamba dengan pendekatan menjemput nasabah dan atau mengantarkan dukungan kredit mikro kepada nasabah di pasar, di tempat mereka usaha, atau ke rumahnya. Dalam kerjasama ini Yayasan menempatkan dana pada Bank BPR sebagai deposito dengan arahan khusus untuk disalurkan kepada nasabah kredit mikro yang menjadi binaan Bank BPR di seluruh kawasan timur Indonesia.
Dalam waktu singkat, yaitu antara tahun 2000 – 2002, untuk empat kecamatan di Jawa Tengah, yaitu Kecamatan Adiwerna Tegal, Kecamatan Ampel Boyolali, Kecamatan Cepiring Kendal, dan Kecamatan Pecangaan Jepara, Bank BPR Nusamba telah berhasil “mengantar” kredit mikro Pembinaan Usaha Mandiri (PUNDI) kepada 1.359 nasabah dengan jumlah dana yang dipinjamkan seluruhnya Rp. 3.695.625.000,-.
Sungguh sangat menarik, dari 1.359 nasabah itu ada 1.252 nasabah bergerak dalam bidang perdagangan, 46 nasabah bergerak dalam bidang industri rumah tangga, 44 nasabah bergerak dalam bidang pertanian, dan 17 nasabah bergerak dalam bidang jasa. Yang juga sangat membesarkan hati adalah bahwa seluruh nasabah bukan datang dari kota besar seperti Solo dan Semarang, tetapi dari desa-desa di kecamatan tersebut yang umumnya orang-orang yang sederhana dan mempunyai usaha yang dibina dengan baik.
Untuk mengetahui secara mendalam ciri dan keadaan dari nasabah Bank BPR Nusamba tersebut Yayasan Damandiri mengadakan kerjasama dengan Yayasan Instat, suatu lembaga survey dan statistik, yang dipimpin oleh Bapak Sugito Suwito MA., mantan Kepala BPS, yang dalam pencacahan survey tersebut di lapangan bekerja sama dengan Kantor Statistik di Jawa Tengah.
Karena nasabah yang ada begitu besar jumlahnya dan dipandang tidak efisien untuk meneliti seluruhnya, maka untuk keperluan survey Yayasan Instat mengambil sampel sebanyak 241 nasabah yang terdiri dari 5 nasabah Ketua Kelompok dengan 18 anggota kelompok dan 218 nasabah individu. Selanjutnya seluruh sampel dikunjungi oleh para pencacah dan dilakukan wawancara terperinci untuk mengetahui ciri-ciri nasabah, pengalaman mereka dengan usahanya, cara mereka memperoleh kredit PUNDI serta penggunaan kredit itu untuk usahanya.
Sesuai dengan rancangan, kerjasama dengan Bank BPR Nusamba adalah suatu eksperimen penggunaan lembaga bank dengan tugas “menjemput bola”, dan mulai dengan pendekatan “debirokratisasi”, yaitu mengurangi ketergantungan pada fasilitas yang diberikan pemerintah. Secara proaktif para karyawan Bank BPR Nusamba ditugaskan menyebarluaskan informasi tentang kesempatan mendapatkan bantuan kredit itu kepada calon-calon nasabah keluarga sederhana yang dipandang prospektif. Para pejabat bank juga diharapkan meminta bantuan nasabahnya untuk mengajak teman atau tetangga nasabah yang kemungkinan membutuhkan bantuan dana.
Menurut hasil survey, ternyata metoda itu sangat efektif. Dari seluruh nasabah yang menjawab pertanyaan dalam survey, ternyata nasabah yang mendapatkan informasi dari pegawai bank BPR Nusamba tercatat hampir 50 persen dan yang mendapat informasi dari nasabah lain ada sekitar 30 persen. Sisanya mendapat informasi dari sumber lain, dan kurang dari 0.5 persen nasabah memperoleh informasi dari instansi pemerintah. Ini berarti bahwa pendekatan debirokratisasi mulai menampakkan hasilnya.
Sistem menjemput bola ternyata ditanggapi oleh nasabah sebagai suatu prosedur yang mudah. Karena itu ketika mereka ditanya dalam survey alasan kenapa mereka pilih kredit PUNDI yang disalurkan oleh BPR Nusamba, umumnya menyatakan bahwa prosedurnya mudah. Tidak kurang dari 89 persen anggota kelompok menyatakan bahwa mereka pilih kredit PUNDI dari Bank BPR Nusamba karena prosedur yang mudah. Tidak kurang dari 79 persen nasabah individu memilih kredit ini karena alasan yang sama.
Penyediaan kredit PUNDI sebagai upaya lanjutan untuk membantu keluarga yang semula mengembangkan usahanya di sekitar tahun 1993, yaitu sejak pemerintah memberikan dukungan terhadap upaya pengentasan kemiskinan dengan pendekatan langsung kepada penduduk, seperti program IDT, Kukesra, dan atau program pembinaan lainnya, nampak mencapai sasarannya. Sekitar 40 persen dari nasabah PUNDI adalah nasabah yang mulai dengan usaha ekonomi produktif antara tahun 1990 – 1999. Tidak kurang dari 47 persen adalah nasabah yang mulai dengan usaha ekonomi produktif sejak tahun 1993. Namun ada juga sekitar 33 persen nasabah telah mempunyai usaha mulai tahun 1970-an.
Rata-rata besarnya kredit PUNDI yang diterima oleh Ketua kelompok adalah sebanyak Rp. 1.900.000,-. Sedangkan setiap anggota kelompok menerima kredit rata-rata Rp. 1.013.889,-. Besarnya kredit PUNDI yang diterima oleh nasabah individu rata-rata adalah Rp. 3.241.572,-. Jumlah itu umumnya adalah sekitar tiga atau empat kali modal yang biasa mereka pergunakan untuk usaha di pasar atau di kampungnya. Biarpun jumlahnya relatif kecil, tetapi seperti diduga, kredit PUNDI bisa menjadi sarana untuk membantu masyarakat mengentaskan kemiskinan atau setidak-tidaknya membantu memberi lapangan kerja kepada khalayak di sekitarnya.
Para nasabah kelompok dan perorangan pada umumnya mempergunakan kredit untuk memperluas usaha atau menambah jenis barang yang dikelolanya dengan memanfaatkan tenaga kerja tambahan. Kelompok individu yang menambah tenaga kerja upahan antara 1 – 4 orang tercatat sebesar 25 persen. Tetapi lebih dari 97 persen mengerjakannya bersama dengan sekitar 1 – 4 orang anggota keluarga sendiri yang tidak dibayar, artinya kalau untung tentu dinikmati bersama.
Karena sebagian besar nasabah berusaha dalam bidang perdagangan maka tidak banyak memerlukan pengolahan bahan baku untuk usahanya, atau tidak membutuhkan bahan baku untuk diolah. Mereka mengambil dagangan dari daerah sekitarnya dan menjualnya kembali di rumah atau di tempat penjualan di warung atau di pasar.
Pada umumnya, sekitar 77 persen nasabah merasa bahwa tambahan modal dari kredit PUNDI yang mereka terima mendorong kemajuan usahanya. Hampir 23 persen yang tidak mengalami kemajuan, ternyata ada sekitar 33 presen mengalami kendala pemasaran dan sisanya menganggap modalnya tidak cukup besar untuk mendukung penjualan yang lebih luas pasarannya.
Hampir semua nasabah bisa membayar cicilannya dengan teratur, bahkan tidak sedikit yang mempunyai tabungan untuk pemupukan modal. Tabungan modal itu juga meningkatkan kepercayaan bank atas nasabahnya. Karena itu ketika nasabah yang mempunyai tabungan itu mengajukan pinjaman baru, hampir selalu mendapat dana pinjaman baru dengan jumlah yang lebih besar.
Pengalaman jaringan Bank BPR Nusamba di empat kecamatan di Jawa Tengah menjemput bola tersebut sungguh sangat menarik untuk dicontoh guna memperlancar penyaluran kredit mikro yang dewasa ini sedang hangat dibicarakan oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Pengalaman tersebut mudah-mudahan ada manfaatnya untuk bank lain memenuhi harapan masyarakat di tempat lainnya. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-Nusamba-Pundi-24Mei2003(A1/B2/D1)
http://www.haryono.com/article/article/bpr-nusamba-menjemput-nasabah-mikro.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar